Pengaruh Bagi Hasil Keuntungan Mudharabah Terhadap Nasabah Pada Bank BPR Syari’ah

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Penelitian
Bank syariah di Indonesia mulai berkembang tahun 1992, pada awalnya bank syariah diragukan akan sistem operasionalnya, tetapi tidak demikian adanya bank syariah membuktikan eksistensinya dan bank syariah terbukti mengalami kemajuan setelah Indonesia mengalami krisis moneter yang cukup mengkhawatirkan pada tahun 1997 yang berakibat sangat signifikan atas terpuruknya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Indonesia telah berada pada ambang kehancuran ekonomi, hampir semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Kondisi terparah ditunjukkan oleh sektor perbankan yang merupakan penyumbang dari krisis moneter di Indonesia. Banyak bank-bank konvensional yang tidak mampu membayar tingkat suku bunga, hal ini berakibat atas terjadinya kredit macet. Bank Mu’amalat Indonesia salah satu dari bank yang dinyatakan sehat oleh pemerintah, karena mampu bertahan dari terpaan krisis ekonomi, yang nyata memiliki sistem tersendiri dari bank-bank lain, yaitu dengan sistem bagi hasil. Bank syariah memiliki keunggulan dalam sistem bagi hasilnya, sistem tersebut memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak, karena adanya kesepakatan (akad) yang dibuat, rugi atau untung akan ditanggung bersama baik pihak bank dan nasabah debitur maupun kreditur dengan ketentuan bagi hasil yang telah ditetapkan. Setelah dipelopori Bank Mu’amalat Indonesia, banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah. Salah satunya adalah Bank BPR Syari’ah Mandiri.
Semakin meningkatnya perkembangan usaha kecil dan menengah, menyebabkan semakin meningkatnya taraf kemakmuran perekonomian masyarakat. Namun, perkembangan usaha kecil dan menengah tersebut tidak disertai dengan tingkat modal yang mencukupi, sehinnga untuk menambah modal tersebut banyak perusahaan atau pelaku bisnis meminta bantuan dari pihak perbankan. Bagi nasabah yang memiliki keahlian, skill dan sebagian modal, bank syariah memiliki jenis Keuntungan musyarakah dan Keuntungan mudharabah.
Keuntungan Mudharabah merupakan kerjasama antara pihak bank dengan nasabah, dimana dana 100% dari pihak bank dan keuntungan dibagi menurut akad/perjanjian. Dengan kata lain modal disediakan oleh pihak bank sedangkan nasabah menjalankan usahanya. Keuntungan mudharabah dapat dilakukan untuk membiayai suatu proyek bersama antara nasabah dengan bank. Nasabah debitur dapat mengajukan proposal kepada bank syariah untuk mendanai suatu proyek tertentu atau usaha tertentu dan kemudian akan disepakati berapa modal dari bank dan berapa modal dari nasabah kreditur serta akan ditentukan bagi hasilnya bagi masing-masing pihak berdasarkan persentase pendapatan atau keuntungan bersih dari proyek atau usaha tersebut sesuai kesepakatan.
Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI), untuk kemaslahatan disarankan untuk menggunakan prinsip bagi pendapatan (revenue sharing). Perhitungannya didasarkan pada pembagian nisbah yang telah disepakati sebelumnya antara pihak bank syariah dan pengelola atau nasabah debitur dikalikan dengan penjualan dari laporan laba rugi nasabah debitur pada umumnya. Bank syariah mengikuti fatwa tersebut dengan tujuan untuk menghindari moral hazard yang mungkin dilakukan oleh nasabah debitur, misalnya dengan cara menaikkan biaya operasional yang tidak perlu.
Sistem bagi hasil yang merupakan karakter dari bank syariah adalah sebuah bentuk kesepakatan yang dibuat oleh pihak bank dengan pihak nasabah mengenai bagi hasil keuntungan atau kerugian dari Keuntungan yang diberikan oleh pihak bank, tentunya dengan mengutamakan prinsip keadilan dan hubungan kerjasama investasi yang harmonis (Mutual Investor Relationship) bukan hubungan debitur dengan kreditur (debitor to creditor) yang antagonis, dengan prinsip ini kedua belah pihak dituntut untuk sungguh-sungguh dan bertanggung jawab dalam menjalankan kewajibannya, sehingga tingkat kredit macet atau bermasalah bisa ditekan. Dengan tidak berlakunya system bunga berarti tidak ada pembebanan bunga yang berkesinambungan sebagaimana terjadi pada bank konvensional. Selain itu bank syariah sangat mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudential bank) dalam menjalankan fungsinya dan menjunjung tinggi etika bisnis. Sebagaimana diketahui bahwa dengan besarnya tingkat Keuntungan yang disalurkan secara efektif dan efisien akan menambah tingkat pendapatan yang diperoleh.
Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan. Pada umumnya dalam praktek, bank syariah mempergunakan Revenue Sharing, hal ini sebagai salah satu upaya untuk mengurangi resiko penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh mudharib.
Dengan meningkatnya tingkat pendapatan pada akhirnya akan meningkat-kan laba bersih (net income), kemudian dengan laba bersih yang besar bank akan mampu menghadapi persaingan sekaligus melakukan ekspansi pasar dan kontinuitas usaha bank akan lebih terjamin serta meratanya tingkat pendapatan yang diperoleh setiap produk dengan perbandingan tidak terlalu jauh akan membuat posisi bank lebih stabil dan mengoptimalkan peraihan laba, walaupun ada satu produk yang sekiranya bermasalah dan menimbulkan resiko, tetapi resiko itu tentunya tidak secara signifikan mempengaruhi usaha bank dalam menghasilkan laba karena masih terantisipasi oleh pendapatan produk-produk atau lainnya.
Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk  meneliti seberapa besar signifikansi hubungan bagi hasil Keuntungan mudharabah yang merupakan bagian dari Keuntungan bagi hasil pada Bank BPR Syari’ah Mandiri dengan laba bersih dan penulis mencoba untuk mengungkapkannya dalam proposal skripsi yang berjudul: “Pengaruh Bagi Hasil Keuntungan Mudharabah Terhadap Nasabah Pada Bank BPR Syari’ah Mandiri Lhokseumawe

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1.    Bagaimana tingkat bagi hasil keuntungan mudharabah pada Bank BPR Syari’ah Mandiri Lhokseumawe ?
2.    Seberapa besar pengaruh keuntungan mudharabah terhadap nasabah yang diperoleh dari Bank BPR Syari’ah Mandiri Lhokseumawe ?

C.  Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1.    Untuk mengetahui tingkat bagi hasil keuntungan mudharabah pada Bank BPR Syari’ah Mandiri Lhokseumawe.
2.    Untuk mengetahui besarnya pengaruh keuntungan mudharabah terhadap nasabah yang diperoleh dari Bank BPR Syari’ah Mandiri Lhokseumawe.

D.  Manfaat Penelitian
Berdasarkan dari tujuan dilakukannya penelitian ini, penulis berharap bahwa penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan data yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan membutuhkannya. Adapun penelitian yang dilakukan diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
1.    Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan di bidang ekonomi syariah dan memberikan referensi tentang keterkaitan antara pengaruh keuntungan Keuntungan mudharabah terhadap nasabah bank syariah. Dan penelitian ini dapat menambah wawasan pengetahuan dan pemahaman khususnya mengenai Keuntungan mudharabah dengan prinsip bagi hasil yang diberikan serta mengenai perhitungan laba bersih yang diperoleh Bank BPR Syari’ah Mandiri.
2.    Manfaat Praktis
Diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan atau saran dalam menerapkan kebijakan pengelolaan bagi hasil Keuntungan mudharabah, sehingga dapat tercapainya peningkatan keuntungan yang diperoleh Bank BPR Syari’ah Mandiri. Dapat dijadikan sebagai bahan tambahan informasi mengenai sistem pembagian hasil keuntungan mudharabah yang berlandaskan prinsip bagi hasil.

E.  Definisi Operasional
Mengingat judul proposal skripsi menimbilkan polemik atau penafsiran yang bermacam-macam, berikut peneliti mendefinisikan judul dengan variabel:
1.    Konsep bagi hasil BPR Syari’ah
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari'ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari'ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.


2.    Mudharabah
Mudharabah merupakan satu pembahasan yang banyak diungkap dalam kitab-kitab fiqh klasik. Dewasa ini, wacana tentang Mudharabah menjadi semakin mencuat seiring perkembangan perbankan syari’ah. Dalam lembaga perbankan syari’ah itu, Mudharabah menjadi salah satu kunci penting dalam kajian-kajian lebih komprehensif mengenai perbankan syari’ah. Apa yang dikenal dengan sistem bagi hasil sebagai alternatif sistem bunga dalam perbankan konvensional, sejatinya, dari term Mudharabah ini.
Semua rasanya sepakat bahwa Mudharabah mengandung nilai-nilai luhur kemanusiaan dan perwujudan prinsip keadilan dalam sebuah usaha ekonomi. Heterogenitas tingkat kemakmuran hidup manusia bagian dari realitas kehidupan yang tak terbantahkan sepanjang masa. Mudharabah ada untuk memberikan kesempatan agar heterogenitas itu tidak terlampau curam menghubungkan golongan kaya dengan masyarakat miskin. Namun, eksistensinya dalam dunia modern belum menampakan kontribusi yang signifikan. Perbankan syari’ah sebagai penopang Mudharabah tidak dapat berbuat banyak untuk memberdayakannya.

F.   Kajian Terdahulu
Sejauh pencarian peneliti melalui digital dan manual baik melalui pustaka dan blog, peneliti menemukan judul yang hampir serupa dengan judul proposal penelitian ini. Berikut peneliti sebutkan:
1.    Pengaruh Bagi Hasil Keuntungan Mudharabah Terhadap Laba Bersih, yang diteliti oleh Agustiansyah.

2.    Signifikansi Hubungan Bagi Hasil Keuntungan Musyarakah dan Mudharabah Dengan Laba Bersih Yang Diproleh Bank Syari’ah, yang diteliti oleh Ratna Sari.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.  Konsep Bagi Hasil BPR Syari’ah
Sistem bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah Mudharabah dan Musyarakah. Lebih jauh prinsip Mudharabah dapat digunakan sebagai dasar baik untuk produk pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan, sementara Musyarakah lebih banyak untuk pembiayaan.[1]
Firman Allah dalam Al-Qur’an, artinya: “Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya” (QS. Al-Baqarah : 283).

Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI tentang Bagi Hasil adalah sebagai berikut :
Ketentuan Umum :
1.    Pada dasarnya, LKS boleh menggunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing) maupun Bagi Untung (Profit Sharing) dalampembagian hasil usaha dengan mitra (nasabah)-nya.
2.    Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), saat ini, pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing).
3.    Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.[2]
Bagi keuntungan/bagi hasil merupakan ciri utama bagi lembaga keuangan tanpa bunga/bank islam. Dinamakan lembaga keuangan bagi hasil, karena lembaga ini memperoleh keuntungan dari apa yang dihasilkan dari upayanya mengelola dana pihak ketiga. Seperti pada Al-qur’an surat al-Muzzammil ayat 20 yang menganjurkan untuk melakukann kegiatan usaha. Landasan hukum Al-Qur’an surat al-Muzzammil ayat 20 : “…dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT…” (al-Muzzammil:20).
Landasan hukum hadist riwayat Ibn Majah: dari Shuhaib r.a Nabi SAW pernah bersabda: “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan, yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan sendiri, bukan untuk dijual.” (HR. Ibn Majah dari Shuhaib r.a) Sistem bagi hasil merupakan sistem dimana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama didalam melakukan kegiatan usaha. Di salam kegiatan usaha diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan didapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan dibuat dengan dasar kerelaan (An-Tarodhin) dimasing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan didalam perbankan syari’ah terdiri dari dua sistem, yaitu:
1.    Profit Sharing
Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.[3] Apabila pada perbankan syariah yang sering dipakai adalah istilah profit and loss sharing, di mana hal ini diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.
Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana diantara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.[4] Dalam sistem tersebut terdapat resiko atas kerugian yang sewaktu-waktu dapat ditimbulkan. Apabila terdapat kerugian financial/materi, hanya pemilik modal yang menanggung kerugian tersebut. Selain itu pengelola dana hanya menanggung kerugian waktu dan keringat dari apa yang telah diusahakannya. Kecuali mudharib (pengelola dana) lalai dalam melaksanakan tugasnya.
2.    Revenue Sharing.
Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue).[5] Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit).
Berbeda dengan revenue yang dimaksud didalam arti perbankan. konvensional adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank. Jadi, revenue dalam bank konvensional merupakan total bunga keseluruhan dari setiap penyaluran dana yang dilakukannya.
Revenue pada perbankan Syari'ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank. Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.
Sedangkan Nisbah adalah pembagian keuntungan yang ditetapkan pada awal terbentuknya akad yang terbentuk dalam persentasi yang disepakati oleh kedua belah pihak yakni pada pihak bank dan pihak nasabah. Nisbah bagi hasil merupakan faktor penting dalam menentukan bagi hasil di bank syariah, sebab aspek nisbah merupakan aspek yang disepakati bersama antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi.[6]
Para ulama fiqih memahami bahwa profit sharing/nisbah bagi hasil adalah berbagi keuntungan dimana hal tersebut didasari dari akad mudharabah yang berarti berbagi keuntungan maupun kerugian. Dimana akad mudharabah tersebut merupakan akad yang sangat melekat unsur bagi hasil didalamnya.
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa nisbah bagi hasil ditentukan pada awal terbentuknya akad dan yang membedakan dengan bunga adalah, apabila dalam bagi hasil dari usaha dapat berubah-ubah (fluktuatif) dan dapat saja terjadi resiko setiap saat. Sehingga hasil dari persentase nisbah tersebut masih belum bias ditetapkan nominalnya.[7]
Sedangkan menurut ulama syafiiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa bagi hasil merupakan pembagian keuntungan dari kontribusi modal yang telah ditanamkan untuk menjalankan suatu usaha dalam melakukan kerjasama. Penetapan hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.[8]
Untuk menghindarkan praktik riba dalam perekonomian syariah khususnya pada perbankan syariah maka para ulama fiqih membolehkan adanya nisbah bagi hasil dan mengharamkan suku bunga dalam praktik ekonomi islam. Ulama Indonesia (MUI), sebagaimana termaktub dalam Keputusan Fatwa Nomor 1/2004 tentang bunga (Interest/Fa'idah), menyatakan bahwa bunga bank itu riba, karenanya haram untuk mengambilnya maupun memakannya. Dari penjelasan para ulama fiqih diatas, maka dapat dibedakan antara bunga dan bagi hasil sebagai berikut:



Tabel 2.1
Perbedaan Sistem Bagi Hasil Dengan Sistem Bunga
Sistem Bagi Hasil
Sistem Bunga
Penentuan besarnya rasio (nisbah) bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemung-kinan untung rugi.
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang di peroleh.
Bagi hasil bergantung pada ke-untungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan di tanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
Penentuan bunga ditetapkan pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
Besarnya persentase berdasarkan jumlah uang (modal) yang di pinjam-kan.
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan, tidak peduli apakah proyek yang dijalankan nasabah itu untung atau rugi.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntu-ngan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming.
Keberadaan bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam.
Sumber: www.wikipedia.com//bagihasil_vs_riba//289,soft//??

B.  Mudharabah
1.    Pengertian Mudharabah
Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya.[9] Perubahan makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “ suatu perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.”[10] 
Madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.[11] Sedangkan madzhab Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.[12] Sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.[13]
Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan  tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati di awal akad. [14]
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang,[15] ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktek mudharabah ini dibolehkan baik menurut Al Qur’an, Sunnah maupun Ijma’.[16]
Dalam praktek mudharabah antara Khadijah dengan Nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual ke Nabi Muhammad saw ke luar negeri. Dalam kasus ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahib al-māl) sedangkan Nabi Muhammad saw berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib).[17]
Al Qur’an membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS. Al Muzammil  ayat 20 : “ …..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT “.[18] Dalam ayat tersebut terdapat kata yadribun yang asal katanya sama denganmudharabah, yakni dharaba yang berarti mencari pekerjaan atau menjalankan usaha.
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Mutholib jika memberikan dana kepada mitranya secara mudharabah ia mensyaratkan supaya dananya tidak dibawa untuk mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut, yang berhutang bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikannya syarat-syarat tersebut kepada Rasullah SAW dan Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR. Tabrani).[19]
Dari Shalih bin Shuhaib, r.a. bahwa r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda : Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan, yaitu : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), serta mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga dan bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majjah no. 2280, kitab at-Tijarah).[20]
Menurut Antonio, mudharabah berasal dari kata dharib, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usahanya, secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100 % modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, seandainya kerugian tersebut akibat kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.[21]
Sudarsono mengatakan juga bahwa: “Mudharabah berasal dari kata adhdharbu fi asdhi, yaitu bepergian untuk urusan dagang. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti alqoth’u (potongan), karena pemilik memotong   sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan”.[22] Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secaramudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal, selama kerugian itu akibat si pengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
2.      Pembiayaan Mudharabah
Dalam pembiayaan Bank Syariah, mudharabah merupakan suatu bentuk kerjasama usaha yang terjadi dengan satu pihak sebagai penyedia modal sepenuhnya dan pihak lainnya sebagai pengelola agar keduanya berbagi keuntungan menurut kesepakatan bersama dengan kesanggupan untuk menanggung resiko.[23] Bagian keuntungan yang disepakati itu harus berbentuk prosentase (nisbah) dan yang berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi jika terjadi kerugian yang ditimbulkan dari resiko bisnis dan bukan gara-gara kelalaian pengusaha, maka pemilik modal akan menanggung kerugian modal itu seluruhnya (100 %) dan pengusaha terkena kerugian dari kehilangan seluruh tenaga dan waktunya atau 0 % modal.[24] Pembagian kerugian ini didasarkan pada kemampuan menangung kerugian masing-masing yang tidak sama.
Pada konsepnya, mudharabah menggunakan prinsip bagi untung rugi yang dianggap merupakan konsekuensi dari adanya ketidakpastian dalam kontrak investasi. Akan tetapi, menurut Abdullah Saeed, pada kenyataannya bank Islam (bank Syariah, istilah yang digunakan di Indonesia) hampir menghilangkan karakter ketidaktentuan hasil usaha dalam kontrak mudharabah, melalui berbagai pertimbangan.[25]
Praktek kontrak mudharabah hampir sama dengan bisnis beresiko rendah atau bisnis yang tidak beresiko. Oleh karenanya penerapan transaksi mudharabah dalam perbankan Islam dinilai oleh Timur Kuran terdorong untuk menggunakan “bunga yang disamarkan (thinly disguised interest)” atau dengan kata lain bisa disebut dengan bunga yang direkayasa.[26]
Perhitungan nisbah bagi hasil sangat dipengaruhi oleh tingkat resiko yang mungkin terjadi. Semakin tinggi tingkat resikonya, akan semakin besar nisbah bagi hasil dan sebaliknya. Oleh karenanya pengelola BMT harus selektif dalam memilih usaha yang akan dibiayai. Biasanya pembiayaan Mudharabah dapat dijalankan untuk proyek-proyek yang sudah pasti.
3.    Jenis-jenis mudharabah
Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah (Restricted Investment Account).[27]
a.    Mudharabah Mutlaqah (bebas)
             Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment Account)adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha,  maupun yang lain.
b.    Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.


[1] Muhamad dkk, , Bank Syariah : Analisis Kekuatan Kelemahan, Peluang dan Ancaman (M. Syafi’I Antonio).
[2] Dewan Syariah Nasional, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 15/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga Keuangan Syari'ah. (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2000) ,
[3] Tim Penyelenggara Perbankan Syari’ah IBI, Konsep Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah, (Jakarta: Djambatan, 2001), h. 264

[4] Azzanurlaila, Analisa Fatwa Tentang Kebolehan Revenue, artikel diakses pada 5 Juli 2010 dari http://azzanurlaila.blogspot.com.

[5] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta: Erlangga, 1994), Edisi ke-2, h. 583
[6] Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, (Yogyakarta: Ekonesia, cet-1, 2004), h. 123.
[7] Kitab Fiqh Syar’i Tentang Ekonomi Syariah.

[8] Lukmanul, “Presentasi Fiqh Siyasah Muamalah” artikel diakses pada 5 juli 2010 dari www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-fiqh-siyasahmuamalah-10.
[9] Al-Mu’jām al-Wasit, Al-juz’ al-awwal, Cet III, (Kairo, Majma’ al-lughah al-Arabiyah), 1972.
[10] Ibn. Abidin, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Durr al Mukhtār, juz IV, (Beirut: Dar Ihya Al-Turas, 1987),  hal 483.

[11] Al-Nawawi, Riyad al-Salihin, Vol.IV, (Beirut : Dar al-Fikr,tt), hal. 289.

[12] Al-Bahuti, Kasysyaf  al-Qina,Vol.II, (Beirut : Dar al-Fikr,tt), hal. 509.

[13] Al-Dasuqi,  Hasiyah al-Dasuqi’ala al-Sarh al-Kabir, Juz III, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1989), hal 63.

[14] Wirdyaningsih, Bank dan asuransi Islam di Indonesia, Ed.I.Cet. 1, Jakarta, Kencana, 2005, hal.130
[15] Kala itu Nabi Muhammad SAW  berusia kira-kira 20-25 tahun, dan belum menjadi Nabi (Adiwarman A Karim, 2004, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 2, PT Raja Grafindo, Jakarta) hal. 180

[16] M. Anwar Ibrahim, “Konsep Profit dan Loss Sharing System Menurut Empat Madzhab”. Makalah tidak diterbitkan, hal 1-2. Menurut Al Qur’an, lihat misalnya dalam QS (73:20). Menurut Sunnah, diantaranya hadits Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi mengakui syarat-syarat mudharabah yang ditetapkan Al Abbas bin Abdul Muthalib kepada mudharib. Menurut ijma’, karena sistem ini sudah dikenal sejak zaman Nabi dan zaman sesudahnya. Para sahabat banyak yang mempraktekkannya dan tidak ada yang mengingkarinya

[17] Sayyid Sabbiq, Fiqus Sunnah (Terjemahan), Bandung, Al Maarif

[18] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra,1989), hal 990.
[19] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Teori dan Praktek, (Jakarta, Gema Insani Press dengan Tazkia Cendikia, 2001)  hal 96.
[20] Ibid.

[21] Ibid, hal. 95.
[22] Sudarsono, Bank, hal.54-55.

[23] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah (Jakarta, Djambatan,2001). Hal 164-167.
[24] Ibid, hal 168.

[25] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Penerjemah. M. Ufuqul Mubin, Nurul Huda dan Ahmad Sahidah (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003) hal. 105.

[26] http:// www.pupress.princeton.edu mengenai karya Timur Kuran, Islam and Mammon : The Economic Predicaments of Islamism, (Princeton : Princeton University,2004), bab I.
[27] Adiwarman, Bank, hal. 188




BAB III
METODE PENELITIAN

A.  Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memperkirakan/memperhitungkan besarnya efek atau pengaruh kuantitatif dari suatu perubahan terhadap perubahan lainnya. Jadi, dalam penelitian ini penulis akan mengukur sejauh mana bagi hasil mempengaruhi jumlah keuntungan yang ada pada bank syariah mandiri.

B.  Hipotesa
Gay (1976) mendefinisikan hipotesa sebagai penjelasan sementara tentang suatu tingkah laku, gejala-gejala, atau kejadian tertentu yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Atau hipotesa adalah harapan yang dinyatakan oleh peneliti mengenai hubungan antara variabel-variabel di dalam masalah penelitian.
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada tidaknya pengaruh dari variabel bebas (independen) Bagi Hasil terhadap variabel tidak bebas (dependen) Jumlah dana deposan.
Adapun perumusan Ho dan H1 adalah sebagai berikut :
HO : ρ = 0           Bagi Hasil tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap Jumlah Dana Deposito Syariah Mudharabah.
H1 : ρ ≠ 0          Bagi Hasil memiliki pengaruh secara signifikan terhadap Jumlah Dana Deposito Syariah Mudharabah.[1]
C.  Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah uji regresi sederhana. Regresi sederhana dilakukan untuk mengetahui sejauh mana satu variabel berpengaruh terhadap variabel lainnya yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independent (Bagi Hasil) dan variable dependen (Jumlah Dana Deposito Syariah Mudharabah).
Uji analisis regresi sederhana dalam penelitian ini dilakukan menggunakan SPSS versi 14 for windows. SPSS atau singkatan dari Statistical Product and Service Solution merupakan program aplikasi komputer yang dilakukan untuk melakukan perhitungan statistik dengan lebih cepat.[2]
Tugas dari penulis disini hanyalah mendesain variabel yang akan dianalisis, memasukan data, dan melakukan perhitungan dengan menggunakan tahapan yang ada pada menu SPSS 14 yang telah tersedia. Setelah perhitungan selesai, penulis melakukan penafsiran dari output yang dihasilkan.

D.  Mendesain Variabel
Sebelum penulis memasukan dan memproses data melalui SPSS, maka penulis memberi nama dan mendefinisikan variabel yang penulis gunakan dalam penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:
1.    Bagi Hasil
Bagi Hasil pada penelitian ini dijalankan sebagai variabel yang independen (X). Bagi Hasil didefinisikan sebagai keuntungan dari sebuah bentuk kerjasama antara pihak investor atau penanggung, istilahnya shahibul mal dengan pihak pengelola (mudharib), dan nantinya akan ada pembagian hasil sesuai dengan presentase jatah bagi hasil (nisbah) sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
2.    Keuntungan
Keuntungan pada penelitian ini dijalankan sebagai variabel yang dependen (Y), Keuntungan yaitu Jumlah keseluruhan dari saldo rata-rata nasabah dan saldo yang ada pada Bank Syariah Mandiri.


[1] Consuelo G. Sevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: UI-Press, 1993), h. 13.
[2] Umi Narimawati, Teknik-teknik analisis multivariate untuk Riset Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu Cetatakan Pertama, 2008), h. 23 

Comments

Popular posts from this blog

REVIEW KITAB TA'LIM MUTA'LIM Makalah Pascasarjana

Tafsir Surat Al-Imran Ayat 104 (Makalah Pascasarjana PAI)