Pengaruh Bagi Hasil Keuntungan Mudharabah Terhadap Nasabah Pada Bank BPR Syari’ah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Penelitian
Bank
syariah di Indonesia mulai berkembang tahun 1992, pada awalnya bank syariah
diragukan akan sistem operasionalnya, tetapi tidak demikian adanya bank syariah
membuktikan eksistensinya dan bank syariah terbukti mengalami kemajuan setelah
Indonesia mengalami krisis moneter yang cukup mengkhawatirkan pada tahun 1997
yang berakibat sangat signifikan atas terpuruknya pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Indonesia telah berada pada ambang kehancuran ekonomi, hampir semua
sektor ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Kondisi terparah ditunjukkan oleh
sektor perbankan yang merupakan penyumbang dari krisis moneter di Indonesia.
Banyak bank-bank konvensional yang tidak mampu membayar tingkat suku bunga, hal
ini berakibat atas terjadinya kredit macet. Bank Mu’amalat Indonesia salah satu
dari bank yang dinyatakan sehat oleh pemerintah, karena mampu bertahan dari
terpaan krisis ekonomi, yang nyata memiliki sistem tersendiri dari bank-bank
lain, yaitu dengan sistem bagi hasil. Bank syariah memiliki keunggulan dalam
sistem bagi hasilnya, sistem tersebut memiliki keuntungan bagi kedua belah
pihak, karena adanya kesepakatan (akad) yang dibuat, rugi atau untung akan
ditanggung bersama baik pihak bank dan nasabah debitur maupun kreditur dengan
ketentuan bagi hasil yang telah ditetapkan. Setelah dipelopori Bank Mu’amalat
Indonesia, banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah. Salah
satunya adalah Bank BPR
Syari’ah Mandiri.
Semakin
meningkatnya perkembangan usaha kecil dan menengah, menyebabkan semakin
meningkatnya taraf kemakmuran perekonomian masyarakat. Namun, perkembangan
usaha kecil dan menengah tersebut tidak disertai dengan tingkat modal yang
mencukupi, sehinnga untuk menambah modal tersebut banyak perusahaan atau pelaku
bisnis meminta bantuan dari pihak perbankan. Bagi nasabah yang memiliki
keahlian, skill dan sebagian modal,
bank syariah memiliki jenis Keuntungan musyarakah
dan Keuntungan mudharabah.
Keuntungan
Mudharabah merupakan kerjasama antara
pihak bank dengan nasabah, dimana dana 100% dari pihak bank dan keuntungan
dibagi menurut akad/perjanjian.
Dengan kata lain modal disediakan oleh pihak bank sedangkan nasabah menjalankan
usahanya. Keuntungan mudharabah dapat
dilakukan untuk membiayai suatu proyek bersama antara nasabah dengan bank.
Nasabah debitur dapat mengajukan
proposal kepada bank syariah untuk mendanai suatu proyek tertentu atau usaha
tertentu dan kemudian akan disepakati berapa modal dari bank dan berapa modal
dari nasabah kreditur serta akan
ditentukan bagi hasilnya bagi masing-masing pihak berdasarkan persentase
pendapatan atau keuntungan bersih dari proyek atau usaha tersebut sesuai
kesepakatan.
Menurut
fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI), untuk kemaslahatan disarankan untuk
menggunakan prinsip bagi pendapatan (revenue
sharing). Perhitungannya didasarkan pada pembagian nisbah yang telah
disepakati sebelumnya antara pihak bank syariah dan pengelola atau nasabah
debitur dikalikan dengan penjualan dari laporan laba rugi nasabah debitur pada
umumnya. Bank syariah mengikuti fatwa tersebut dengan tujuan untuk menghindari moral hazard yang mungkin dilakukan oleh
nasabah debitur, misalnya dengan cara menaikkan biaya operasional yang tidak
perlu.
Sistem
bagi hasil yang merupakan karakter dari bank syariah adalah sebuah bentuk
kesepakatan yang dibuat oleh pihak bank dengan pihak nasabah mengenai bagi
hasil keuntungan atau kerugian dari Keuntungan yang diberikan oleh pihak bank,
tentunya dengan mengutamakan prinsip keadilan dan hubungan kerjasama investasi
yang harmonis (Mutual Investor Relationship)
bukan hubungan debitur dengan kreditur (debitor
to creditor) yang antagonis, dengan prinsip ini kedua belah pihak dituntut
untuk sungguh-sungguh dan bertanggung jawab dalam menjalankan kewajibannya,
sehingga tingkat kredit macet atau bermasalah bisa ditekan. Dengan tidak
berlakunya system bunga berarti tidak ada pembebanan bunga yang
berkesinambungan sebagaimana terjadi pada bank konvensional. Selain itu bank
syariah sangat mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudential bank) dalam menjalankan fungsinya dan menjunjung tinggi
etika bisnis. Sebagaimana diketahui bahwa dengan besarnya tingkat Keuntungan
yang disalurkan secara efektif dan efisien akan menambah tingkat pendapatan
yang diperoleh.
Laba
bersih (net profit) merupakan laba
kotor (gross profit) dikurangi biaya
distribusi penjualan, administrasi dan keuangan. Pada umumnya dalam praktek,
bank syariah mempergunakan Revenue Sharing, hal ini sebagai salah satu upaya
untuk mengurangi resiko penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh mudharib.
Dengan
meningkatnya tingkat pendapatan pada akhirnya akan meningkat-kan laba
bersih (net income), kemudian dengan
laba bersih yang besar bank akan mampu menghadapi persaingan sekaligus
melakukan ekspansi pasar dan kontinuitas usaha bank akan lebih terjamin serta
meratanya tingkat pendapatan yang diperoleh setiap produk dengan perbandingan
tidak terlalu jauh akan membuat posisi bank lebih stabil dan mengoptimalkan
peraihan laba, walaupun ada satu produk yang sekiranya bermasalah dan
menimbulkan resiko, tetapi resiko itu tentunya tidak secara signifikan
mempengaruhi usaha bank dalam menghasilkan laba karena masih terantisipasi oleh
pendapatan produk-produk atau lainnya.
Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik
untuk meneliti seberapa besar
signifikansi hubungan bagi hasil Keuntungan mudharabah yang merupakan bagian
dari Keuntungan bagi hasil pada Bank BPR Syari’ah Mandiri dengan
laba bersih dan penulis mencoba untuk mengungkapkannya dalam proposal
skripsi yang berjudul: “Pengaruh
Bagi Hasil Keuntungan Mudharabah
Terhadap Nasabah Pada Bank BPR Syari’ah Mandiri Lhokseumawe”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah
diuraikan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat
diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Bagaimana
tingkat bagi hasil keuntungan mudharabah pada Bank BPR Syari’ah
Mandiri Lhokseumawe ?
2. Seberapa
besar pengaruh keuntungan mudharabah
terhadap nasabah yang diperoleh dari Bank BPR Syari’ah Mandiri Lhokseumawe ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui tingkat bagi
hasil keuntungan mudharabah
pada Bank BPR Syari’ah
Mandiri Lhokseumawe.
2. Untuk
mengetahui besarnya pengaruh keuntungan mudharabah
terhadap nasabah yang diperoleh dari Bank BPR Syari’ah Mandiri Lhokseumawe.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan dari tujuan dilakukannya penelitian
ini, penulis berharap bahwa penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi dan data yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan
membutuhkannya. Adapun penelitian yang dilakukan diharapkan dapat bermanfaat
sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
menambah wawasan keilmuan di bidang ekonomi syariah dan memberikan referensi
tentang keterkaitan antara pengaruh keuntungan Keuntungan mudharabah terhadap nasabah bank syariah. Dan penelitian ini dapat
menambah wawasan pengetahuan dan pemahaman khususnya mengenai Keuntungan mudharabah dengan prinsip bagi hasil
yang diberikan serta mengenai perhitungan laba bersih yang diperoleh Bank BPR Syari’ah Mandiri.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan atau
saran dalam menerapkan kebijakan pengelolaan bagi hasil Keuntungan mudharabah, sehingga dapat tercapainya
peningkatan keuntungan yang
diperoleh Bank
BPR Syari’ah Mandiri. Dapat dijadikan sebagai bahan
tambahan informasi mengenai sistem pembagian hasil keuntungan mudharabah yang berlandaskan prinsip bagi
hasil.
E. Definisi
Operasional
Mengingat judul proposal skripsi menimbilkan
polemik atau penafsiran yang bermacam-macam, berikut peneliti mendefinisikan
judul dengan variabel:
1. Konsep bagi hasil BPR
Syari’ah
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana
dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha.
Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan
yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem
perbankan syari'ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan
di dalam aturan syari'ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus
ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya
penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai
kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa
adanya unsur paksaan.
2. Mudharabah
Mudharabah merupakan satu pembahasan yang
banyak diungkap dalam kitab-kitab fiqh klasik. Dewasa ini, wacana tentang
Mudharabah menjadi semakin mencuat seiring perkembangan perbankan syari’ah.
Dalam lembaga perbankan syari’ah itu, Mudharabah menjadi salah satu kunci
penting dalam kajian-kajian lebih komprehensif mengenai perbankan syari’ah. Apa
yang dikenal dengan sistem bagi hasil sebagai alternatif sistem bunga dalam
perbankan konvensional, sejatinya, dari term Mudharabah ini.
Semua rasanya sepakat bahwa Mudharabah
mengandung nilai-nilai luhur kemanusiaan dan perwujudan prinsip keadilan dalam
sebuah usaha ekonomi. Heterogenitas tingkat kemakmuran hidup manusia bagian
dari realitas kehidupan yang tak terbantahkan sepanjang masa. Mudharabah ada
untuk memberikan kesempatan agar heterogenitas itu tidak terlampau curam
menghubungkan golongan kaya dengan masyarakat miskin. Namun, eksistensinya
dalam dunia modern belum menampakan kontribusi yang signifikan. Perbankan
syari’ah sebagai penopang Mudharabah tidak dapat berbuat banyak untuk
memberdayakannya.
F.
Kajian
Terdahulu
Sejauh pencarian peneliti melalui digital dan
manual baik melalui pustaka dan blog, peneliti menemukan judul yang hampir
serupa dengan judul proposal penelitian ini. Berikut peneliti sebutkan:
1.
Pengaruh
Bagi Hasil Keuntungan Mudharabah Terhadap
Laba Bersih, yang diteliti oleh Agustiansyah.
2.
Signifikansi Hubungan Bagi Hasil Keuntungan Musyarakah
dan Mudharabah Dengan Laba Bersih Yang Diproleh Bank Syari’ah, yang
diteliti oleh Ratna Sari.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Konsep Bagi Hasil BPR Syari’ah
Sistem bagi hasil adalah suatu sistem yang
meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola
dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana,
maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan
prinsip ini adalah Mudharabah dan Musyarakah. Lebih
jauh prinsip Mudharabah dapat digunakan sebagai dasar baik untuk produk
pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan, sementara Musyarakah lebih
banyak untuk pembiayaan.[1]
Firman Allah
dalam Al-Qur’an, artinya: “Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya” (QS. Al-Baqarah : 283).
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI tentang Bagi
Hasil adalah sebagai berikut :
Ketentuan
Umum :
1.
Pada dasarnya, LKS boleh menggunakan prinsip
Bagi Hasil (Net Revenue Sharing) maupun Bagi Untung (Profit Sharing)
dalampembagian hasil usaha dengan mitra (nasabah)-nya.
2.
Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), saat
ini, pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue
Sharing).
3.
Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang
dipilih harus disepakati dalam akad.[2]
Bagi
keuntungan/bagi hasil merupakan ciri utama bagi lembaga keuangan tanpa
bunga/bank islam. Dinamakan lembaga keuangan bagi hasil, karena lembaga ini
memperoleh keuntungan dari apa yang dihasilkan dari upayanya mengelola dana
pihak ketiga. Seperti pada Al-qur’an surat al-Muzzammil ayat 20 yang
menganjurkan untuk melakukann kegiatan usaha. Landasan hukum Al-Qur’an surat
al-Muzzammil ayat 20 : “…dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi
mencari sebagian karunia Allah SWT…” (al-Muzzammil:20).
Landasan hukum
hadist riwayat Ibn Majah: dari Shuhaib r.a Nabi SAW pernah bersabda: “Tiga
hal yang didalamnya terdapat keberkahan, yaitu jual beli secara tangguh,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan
sendiri, bukan untuk dijual.” (HR. Ibn Majah dari Shuhaib r.a) Sistem bagi
hasil merupakan sistem dimana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama
didalam melakukan kegiatan usaha. Di salam kegiatan usaha diperjanjikan adanya
pembagian hasil atas keuntungan yang akan didapat antara kedua belah pihak atau
lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang
ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan
dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya
kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak
ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan dibuat dengan dasar kerelaan (An-Tarodhin)
dimasing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Mekanisme
perhitungan bagi hasil yang diterapkan didalam perbankan syari’ah terdiri dari
dua sistem, yaitu:
1.
Profit
Sharing
Profit
sharing menurut etimologi Indonesia adalah
bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara
istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue)
suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Di dalam
istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan
kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.[3]
Apabila pada perbankan syariah yang sering dipakai adalah istilah profit and
loss sharing, di mana hal ini diartikan sebagai pembagian antara untung dan
rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.
Sistem profit
and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian
kerjasama antara pemodal (investor) dan pengelola modal (enterpreneur)
dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana diantara keduanya akan terikat
kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi
kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila
usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.[4]
Dalam sistem tersebut terdapat resiko atas kerugian yang sewaktu-waktu dapat
ditimbulkan. Apabila terdapat kerugian financial/materi, hanya pemilik modal
yang menanggung kerugian tersebut. Selain itu pengelola dana hanya menanggung
kerugian waktu dan keringat dari apa yang telah diusahakannya. Kecuali mudharib
(pengelola dana) lalai dalam melaksanakan tugasnya.
2.
Revenue
Sharing.
Revenue
(pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima
oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa
(services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales
revenue).[5] Berdasarkan
definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip
ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam
kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang
ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di
dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total
selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi
modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit).
Berbeda dengan revenue
yang dimaksud didalam arti perbankan. konvensional adalah jumlah dari
penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas
pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank. Jadi, revenue dalam
bank konvensional merupakan total bunga keseluruhan dari setiap penyaluran dana
yang dilakukannya.
Revenue
pada perbankan Syari'ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari
penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu
penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka
lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank. Lebih jelasnya Revenue
sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan
kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan
biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem
revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan
dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan
dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.
Sedangkan
Nisbah adalah pembagian keuntungan yang ditetapkan pada awal terbentuknya akad
yang terbentuk dalam persentasi yang disepakati oleh kedua belah pihak yakni
pada pihak bank dan pihak nasabah. Nisbah bagi hasil merupakan faktor penting
dalam menentukan bagi hasil di bank syariah, sebab aspek nisbah merupakan aspek
yang disepakati bersama antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi.[6]
Para ulama fiqih
memahami bahwa profit sharing/nisbah bagi hasil adalah berbagi keuntungan
dimana hal tersebut didasari dari akad mudharabah yang berarti berbagi
keuntungan maupun kerugian. Dimana akad mudharabah tersebut merupakan akad yang
sangat melekat unsur bagi hasil didalamnya.
Ulama hanafiyah
berpendapat bahwa nisbah bagi hasil ditentukan pada awal terbentuknya akad dan
yang membedakan dengan bunga adalah, apabila dalam bagi hasil dari usaha dapat
berubah-ubah (fluktuatif) dan dapat saja terjadi resiko setiap saat. Sehingga
hasil dari persentase nisbah tersebut masih belum bias ditetapkan nominalnya.[7]
Sedangkan
menurut ulama syafiiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa bagi hasil merupakan
pembagian keuntungan dari kontribusi modal yang telah ditanamkan untuk
menjalankan suatu usaha dalam melakukan kerjasama. Penetapan hak bertindak
hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.[8]
Untuk
menghindarkan praktik riba dalam perekonomian syariah khususnya pada perbankan
syariah maka para ulama fiqih membolehkan adanya nisbah bagi hasil dan
mengharamkan suku bunga dalam praktik ekonomi islam. Ulama Indonesia (MUI),
sebagaimana termaktub dalam Keputusan Fatwa Nomor 1/2004 tentang bunga
(Interest/Fa'idah), menyatakan bahwa bunga bank itu riba, karenanya haram untuk
mengambilnya maupun memakannya. Dari penjelasan para ulama fiqih diatas, maka
dapat dibedakan antara bunga dan bagi hasil sebagai berikut:
Tabel 2.1
Perbedaan
Sistem Bagi Hasil Dengan Sistem Bunga
Sistem Bagi
Hasil
|
Sistem Bunga
|
Penentuan
besarnya rasio (nisbah) bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman
pada kemung-kinan untung rugi.
Besarnya
rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang di peroleh.
Bagi
hasil bergantung pada ke-untungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi,
kerugian akan di tanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Jumlah
pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
Tidak
ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
|
Penentuan
bunga ditetapkan pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
Besarnya
persentase berdasarkan jumlah uang (modal) yang di pinjam-kan.
Pembayaran
bunga tetap seperti yang dijanjikan, tidak peduli apakah proyek yang
dijalankan nasabah itu untung atau rugi.
Jumlah
pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntu-ngan berlipat atau
keadaan ekonomi sedang booming.
Keberadaan
bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam.
|
Sumber: www.wikipedia.com//bagihasil_vs_riba//289,soft//??
B.
Mudharabah
1.
Pengertian Mudharabah
Kata Mudharabah secara
etimologi berasal dari kata darb. Dalam bahasa Arab, kata ini
termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya memukul,
berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur,
berjalan, dan lain sebagainya.[9] Perubahan
makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang
membentuknya.
Menurut
terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh
para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “ suatu perjanjian
untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja
(usaha) dari pihak lain.”[10]
Madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik
modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu
usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.[11] Sedangkan
madzhab Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu barang atau sejenisnya
dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan
mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.[12] Sedangkan
madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal
dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha
dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.[13]
Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibul mal)
dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan.
Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah
disepakati di awal akad. [14]
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat
muslim sejak zaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum
turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad
SAW berprofesi sebagai pedagang,[15] ia
melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian,
ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktek mudharabah ini
dibolehkan baik menurut Al Qur’an, Sunnah maupun Ijma’.[16]
Dalam praktek mudharabah antara
Khadijah dengan Nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk
dijual ke Nabi Muhammad saw ke luar negeri. Dalam kasus ini Khadijah berperan
sebagai pemilik modal (shahib al-māl) sedangkan Nabi Muhammad saw
berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib).[17]
Al Qur’an
membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS. Al
Muzammil ayat 20 : “ …..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi
mencari sebagian karunia Allah SWT “.[18] Dalam
ayat tersebut terdapat kata yadribun yang asal katanya sama
denganmudharabah, yakni dharaba yang berarti mencari
pekerjaan atau menjalankan usaha.
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
Sayyidina Abbas bin Abdul Mutholib jika memberikan dana kepada mitranya
secara mudharabah ia mensyaratkan supaya dananya tidak dibawa
untuk mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut, yang berhutang bertanggungjawab atas
dana tersebut. Disampaikannya syarat-syarat tersebut kepada Rasullah SAW dan
Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR. Tabrani).[19]
Dari Shalih bin
Shuhaib, r.a. bahwa r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Tiga hal
yang didalamnya terdapat keberkahan, yaitu : jual beli secara
tangguh, muqaradhah (mudharabah), serta mencampur gandum dengan tepung
untuk keperluan rumah tangga dan bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majjah no. 2280, kitab at-Tijarah).[20]
Menurut Antonio, mudharabah
berasal dari kata dharib, berarti memukul atau berjalan. Pengertian
memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan
kakinya dalam perjalanan usahanya, secara teknis, al-mudharabah adalah
akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100 %
modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian
pengelola, seandainya kerugian tersebut akibat kecurangan atau kelalaian
pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.[21]
Sudarsono mengatakan juga bahwa: “Mudharabah
berasal dari kata adhdharbu fi asdhi, yaitu bepergian untuk urusan
dagang. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang
berarti alqoth’u (potongan), karena pemilik
memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh
sebagian keuntungan”.[22] Secara
teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secaramudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung
oleh pemilik modal, selama kerugian itu akibat si pengelola, si pengelola harus
bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
2.
Pembiayaan Mudharabah
Dalam pembiayaan Bank Syariah, mudharabah merupakan
suatu bentuk kerjasama usaha yang terjadi dengan satu pihak sebagai penyedia
modal sepenuhnya dan pihak lainnya sebagai pengelola agar keduanya berbagi
keuntungan menurut kesepakatan bersama dengan kesanggupan untuk menanggung
resiko.[23] Bagian keuntungan yang disepakati itu harus berbentuk prosentase (nisbah)
dan yang berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi jika terjadi
kerugian yang ditimbulkan dari resiko bisnis dan bukan gara-gara kelalaian
pengusaha, maka pemilik modal akan menanggung kerugian modal itu seluruhnya
(100 %) dan pengusaha terkena kerugian dari kehilangan seluruh tenaga dan
waktunya atau 0 % modal.[24] Pembagian
kerugian ini didasarkan pada kemampuan menangung kerugian masing-masing yang
tidak sama.
Pada konsepnya, mudharabah menggunakan
prinsip bagi untung rugi yang dianggap merupakan konsekuensi dari adanya
ketidakpastian dalam kontrak investasi. Akan tetapi, menurut Abdullah Saeed, pada
kenyataannya bank Islam (bank Syariah, istilah yang digunakan
di Indonesia) hampir menghilangkan karakter ketidaktentuan hasil usaha
dalam kontrak mudharabah, melalui berbagai pertimbangan.[25]
Praktek kontrak mudharabah hampir
sama dengan bisnis beresiko rendah atau bisnis yang tidak beresiko. Oleh
karenanya penerapan transaksi mudharabah dalam perbankan Islam dinilai oleh Timur Kuran terdorong untuk
menggunakan “bunga yang disamarkan (thinly disguised interest)” atau
dengan kata lain bisa disebut dengan bunga yang direkayasa.[26]
Perhitungan nisbah bagi
hasil sangat dipengaruhi oleh tingkat resiko yang mungkin terjadi. Semakin
tinggi tingkat resikonya, akan semakin besar nisbah bagi hasil dan sebaliknya.
Oleh karenanya pengelola BMT harus selektif dalam memilih usaha yang akan
dibiayai. Biasanya pembiayaan Mudharabah dapat dijalankan untuk proyek-proyek
yang sudah pasti.
3.
Jenis-jenis mudharabah
Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah (Restricted Investment Account).[27]
a.
Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah
Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment Account)adalah
akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal selaku
investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku secara
luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak
keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha,
daerah bisnis, waktu usaha, maupun yang lain.
b.
Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan
istilah (Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua orang atau
lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan
pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik
dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun
pembatasan lain yang serupa.
[1]
Muhamad
dkk, , Bank Syariah : Analisis Kekuatan Kelemahan, Peluang dan Ancaman
(M. Syafi’I Antonio).
[2]
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No: 15/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha
Dalam Lembaga Keuangan Syari'ah. (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia,
2000) ,
[3] Tim
Penyelenggara Perbankan Syari’ah IBI, Konsep Produk dan Implementasi
Operasional Bank Syari’ah, (Jakarta: Djambatan, 2001), h. 264
[4]
Azzanurlaila, Analisa Fatwa Tentang Kebolehan Revenue, artikel diakses
pada 5 Juli 2010 dari http://azzanurlaila.blogspot.com.
[5]
Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta:
Erlangga, 1994), Edisi ke-2, h. 583
[7] Kitab
Fiqh Syar’i Tentang Ekonomi Syariah.
[8]
Lukmanul, “Presentasi Fiqh Siyasah Muamalah” artikel diakses pada 5 juli
2010 dari www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-fiqh-siyasahmuamalah-10.
[10] Ibn. Abidin, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Durr al Mukhtār, juz
IV, (Beirut: Dar Ihya Al-Turas, 1987), hal 483.
[12]
Al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina,Vol.II,
(Beirut : Dar al-Fikr,tt), hal. 509.
[13] Al-Dasuqi, Hasiyah al-Dasuqi’ala
al-Sarh al-Kabir, Juz III, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1989), hal 63.
[14] Wirdyaningsih, Bank dan asuransi Islam di Indonesia,
Ed.I.Cet. 1, Jakarta, Kencana, 2005, hal.130
[15] Kala itu Nabi Muhammad SAW berusia kira-kira 20-25 tahun, dan
belum menjadi Nabi (Adiwarman A Karim, 2004, Bank Islam, Analisis Fiqih dan
Keuangan, Edisi 2, PT Raja Grafindo, Jakarta) hal. 180
[16] M. Anwar Ibrahim, “Konsep Profit dan Loss Sharing System Menurut Empat
Madzhab”. Makalah tidak diterbitkan, hal 1-2. Menurut Al Qur’an, lihat misalnya
dalam QS (73:20). Menurut Sunnah, diantaranya hadits Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi
mengakui syarat-syarat mudharabah yang ditetapkan Al Abbas bin Abdul Muthalib
kepada mudharib. Menurut ijma’, karena sistem ini sudah dikenal sejak zaman
Nabi dan zaman sesudahnya. Para sahabat banyak yang mempraktekkannya
dan tidak ada yang mengingkarinya
[17]
Sayyid Sabbiq, Fiqus Sunnah (Terjemahan), Bandung, Al Maarif
[18] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an Depag RI. Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra,1989), hal 990.
[19] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Teori dan Praktek,
(Jakarta, Gema Insani Press dengan Tazkia Cendikia, 2001) hal 96.
[21] Ibid, hal. 95.
[23] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep,
Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah (Jakarta,
Djambatan,2001). Hal 164-167.
[25] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Penerjemah. M. Ufuqul
Mubin, Nurul Huda dan Ahmad Sahidah (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003) hal.
105.
[26] http:// www.pupress.princeton.edu mengenai karya
Timur Kuran, Islam and Mammon : The Economic Predicaments of Islamism,
(Princeton : Princeton University,2004), bab I.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Dalam
penelitian ini penulis memperkirakan/memperhitungkan besarnya efek atau
pengaruh kuantitatif dari suatu perubahan terhadap perubahan lainnya. Jadi,
dalam penelitian ini penulis akan mengukur sejauh mana bagi hasil mempengaruhi
jumlah keuntungan yang ada pada bank syariah mandiri.
B.
Hipotesa
Gay (1976)
mendefinisikan hipotesa sebagai penjelasan sementara tentang suatu tingkah
laku, gejala-gejala, atau kejadian tertentu yang telah terjadi atau yang akan
terjadi. Atau hipotesa adalah harapan yang dinyatakan oleh peneliti mengenai
hubungan antara variabel-variabel di dalam masalah penelitian.
Hipotesis yang
akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada tidaknya pengaruh dari
variabel bebas (independen) Bagi Hasil terhadap variabel tidak bebas
(dependen) Jumlah dana deposan.
Adapun
perumusan Ho dan H1 adalah sebagai berikut :
HO : ρ = 0 Bagi
Hasil tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap Jumlah Dana
Deposito Syariah Mudharabah.
H1 : ρ ≠ 0 Bagi
Hasil memiliki pengaruh secara signifikan terhadap Jumlah Dana Deposito
Syariah Mudharabah.[1]
C.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis
data yang digunakan dalam penelitian adalah uji regresi sederhana. Regresi
sederhana dilakukan untuk mengetahui sejauh mana satu variabel berpengaruh
terhadap variabel lainnya yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
variabel independent (Bagi Hasil) dan variable dependen (Jumlah Dana
Deposito Syariah Mudharabah).
Uji analisis
regresi sederhana dalam penelitian ini dilakukan menggunakan SPSS versi 14 for
windows. SPSS atau singkatan dari Statistical Product and Service Solution merupakan
program aplikasi komputer yang dilakukan untuk melakukan perhitungan statistik
dengan lebih cepat.[2]
Tugas dari
penulis disini hanyalah mendesain variabel yang akan dianalisis, memasukan
data, dan melakukan perhitungan dengan menggunakan tahapan yang ada pada menu
SPSS 14 yang telah tersedia. Setelah perhitungan selesai, penulis melakukan
penafsiran dari output yang dihasilkan.
D.
Mendesain Variabel
Sebelum penulis
memasukan dan memproses data melalui SPSS, maka penulis memberi nama dan
mendefinisikan variabel yang penulis gunakan dalam penelitian ini, diantaranya
sebagai berikut:
1.
Bagi
Hasil
Bagi Hasil pada
penelitian ini dijalankan sebagai variabel yang independen (X). Bagi Hasil didefinisikan
sebagai keuntungan dari sebuah bentuk kerjasama antara pihak investor atau
penanggung, istilahnya shahibul mal dengan pihak pengelola (mudharib),
dan nantinya akan ada pembagian hasil sesuai dengan presentase jatah bagi hasil
(nisbah) sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
2.
Keuntungan
Keuntungan pada
penelitian ini dijalankan sebagai variabel yang dependen (Y), Keuntungan yaitu
Jumlah keseluruhan dari saldo rata-rata nasabah dan saldo yang ada pada Bank
Syariah Mandiri.
Comments
Post a Comment